Rabu, 08 April 2009

Renungkan sebelum terlambat

Barangkali jika seorang pemuda ditanya, “Apakah kriteria calon istri yang Anda inginkan?” ia akan menjawab, “Saya ingin punya istri yang cantik, kaya, keturunan ningrat, baik akhlaknya dan bla… bla… bla…” sembari menyebutkan kriteria-kriteria yang bercampur angan-angan setinggi langit. Wajar. Demikian pula jika seorang gadis ditanya, “Pria seperti apakah yang Anda idamkan?” ia tentu akan menjawab, “Saya mendambakan pria yang kaya, tampan, gagah, bertanggungjawab, baik hati, pengertian, dan bla… bla… bla…” sambil menyebutkan impian-impiannya. Salahkah? Tidak. Semua itu hampir menjadi kesepakatan secara “tak tertulis” dan “tak terucap” bagi setiap orang, atau istilah lainnya adalah “manusiawi”.

Namun pernahkah seseorang yang masih lajang berpikiran, “Saya ingin mencari pendamping hidup yang bukan hanya mau dan pandai menjadi istri/suami yang baik, tapi juga bisa dan siap menjadi seorang ayah/ibu yang bijak”? itu yang mungkin jarang dipikirkan oleh sebagian orang –untuk tidak mengatakan mayoritas. Sebagian orang hanya berpikiran pendek sehingga boleh dikatakan agak “egois” dalam menentukan calon pasangannya. Egois? Ya, karena ia hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri dan berusaha memuaskannya tanpa melihat kepentingan lain yang juga tak kalah pentingnya, yaitu masa depan anak-anaknya yang kelak akan menjadi penerusnya. Jika seseorang mau berpikir sejenak, tentu ia akan mempertimbangkan lagi kriteria-kriteria yang telah ia pasang sebelumnya untuk calon pasangannya.

Saya teringat kembali nasehat seorang teman ketika mengatakan, “Kalau kamu mau mencari istri, perhatikanlah, apakah dia layak untuk menjadi ibu buat anak-anakmu nanti”. Sebuah nasehat singkat, padat dan jelas. Hal ini tentu saja sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan para pemuda untuk memilih calon pendamping hidupnya yang akan menjadi istrinya sekaligus ibu bagi anak-anaknya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Pilihlah (lahan yang cocok) untuk (menebar) benih-benihmu” (HR. Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi). Artinya, jangan sembarangan menebar “benih” di segala tempat, akan tetapi hendaklah memperhatikan betul-betul apakah “tempat” tersebut cocok untuk ditanami “benih” sehingga diharapkan kelak bisa menjadi tanaman yang subur dan sehat. Sebuah nasehat yang sangat lembut dan penuh kiasan, namun begitu tajam.

Dalam Al-Quran, Allah juga memperingatkan para orangtua agar memperhatikan nasib anak-anak mereka di masa depan. Perhatikan ayat berikut ini: “Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.” (QS. An-Nisa: 9). Tentu saja lemah yang dimaksud di sini bukan hanya lemah secara ekonomi saja, melainkan juga lemah secara spiritual (ruhiyah), sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Qusyairi. Artinya, jangan sampai orangtua meninggalkan generasi yang lemah agamanya sehingga alih-alih menjadi penerus bagi generasi sebelumnya, justru menjadi generasi yang merusak warisan para pendahulunya. Na’udzubillah.

Dalam Al-Quran, Allah menyebutkan beberapa contoh para orangtua yang bijak dalam mendidik anak-anaknya. Perhatikanlah ayat berikut ini: “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar’” (QS. Luqman: 13). Dalam ayat setelahnya Lukman melanjutkan nasehatnya, “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman: 16-19).

Lukman adalah seorang budak laki-laki yang berkulit hitam, bertubuh pendek, berambut ikal dan memiliki bibir dan telapak kaki yang tebal, berasal dari negeri Habasyah (sekarang Ethiopia), dan bekerja sehari-hari sebagai tukang kayu. Namun dikarenakan kesalehan dan ketakwaanya kepada Allah, dia mendapatkan kemuliaan sedemikian tinggi sehingga kisahnya diabadikan dalam kitab suci Al-Quran yang akan selalu dibaca hingga akhir zaman. Kata-katanya yang selalu mengandung hikmah menjadikannya dijuluki sebagai Al-Hakim (yang penuh hikmah). (lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Dalam ayat lain, Allah menyebutkan kisah tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Yakub yang berwasiat kepada anak-anaknya agar berpegang teguh pada agama hingga mati. Perhatikanlah ayat berikut ini: “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam’” (QS. Al-Baqarah: 132).

Perhatikanlah, beliau tidak mewasiatkan kepada anak-anaknya agar mereka menjadi orang-orang yang kaya raya, atau menjadi ilmuwan yang hebat, atau wasiat-wasiat lain yang bersifat duniawi dan sementara. Namun wasiat yang beliau sampaikan adalah agar mereka semua menjadi orang-orang yang beriman dan berislam hingga akhir hayat, sebagaimana para Salaf Salih dahulu berkata, “Aku tidak peduli mati di manapun dan kapanpun, asalkan tetap dalam keadaan muslim.”

Itulah yang seharusnya diperhatikan oleh para orangtua terhadap masa depan anak-anak mereka, terlebih bagi para calon orangtua. Tentu saja semua itu dimulai sejak awal, dari diri sendiri dan tentu saja dalam memilih calon pendamping hidup sebelum menikah. Dari diri sendiri dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas diri sebaik mungkin, karena seorang anak tak lain dan tak bukan adalah “copy-paste” dari orangtuanya sendiri. Sebagaimana pepatah mengatakan, “Mangga jatuh takkan jauh dari pohonnya.” Begitu juga hubungan antara anak dengan orangtuanya. Jika orangtuanya saja belum “beres” dan masih perlu “dibereskan”, bagaimana nanti dengan anak-anaknya? Karena tidak bisa dipungkiri bahwa keluarga adalah madrasah pertama bagi seorang anak sebelum ia memasuki madrasah-madrasah yang lainnya. Oleh karena itu, orangtua adalah kunci pertama kesuksesan anak.

Dalam Islam, tatacara untuk mendapatkan generasi yang saleh pun telah diatur sedemikian rupa. Bahkan dalam berhubungan suami-istri, Islam telah mengajarkan umatnya agar berdoa sebelum memulainya, “Allahumma jannibnas syaithaana wa jannibis syaithaana maa razaqtanaa” (Ya Allah, jauhkanlah kami dari Syaitan, dan jauhkan pula rezeki (anak-anak) kami darinya).

Setelah mengetahui semua ini, masihkah seseorang berpikiran ingin memiliki pasangan hidup yang “begini” dan “begitu” tanpa mempertimbangkan faktor ke depan yang sangat jauh dan bahkan sangat jauh lagi, yaitu masa depan keluarga beserta anak-cucu kelak di akhirat. Karena menikah bukan hanya memuaskan kebutuhan biologis semata, melainkan juga sebagai sarana mencetak kader-kader Islam yang tangguh sebagaimana para Salaf Salih terdahulu.

Semoga catatan kecil ini bisa mengingatkan kembali tentang urgensi keluarga dalam membentuk generasi-generasi muda Islam yang akan memperjuangkan agama ini sampai titik darah penghabisan. Dan semoga kita termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang saleh dan diridhoi-Nya. Amin. Wallahu A’lam Bis Showab.

Damaskus, 29 April 2009 00:29